KALAMOEDA.COM, Bandung – Di masyarakat kita, perempuan masih sering didefinisikan sebagai “tulang rusuk”, posisi yang konon lebih lembut, lebih tersembunyi, dan tugasnya melengkapi laki-laki. Namun, realitas sosial hari ini memaksa banyak perempuan berubah menjadi “tulang punggung”. Penyangga utama ekonomi keluarga, bahkan masyarakat. Lantas, sebenarnya perempuan itu harus jadi apa? Tulang rusuk yang dirawat atau tulang punggung yang dibebani?
Data menunjukkan, beban ganda yang dipikul perempuan semakin nyata. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, sekitar 47,8% perempuan di Indonesia masuk dalam angkatan kerja. Dari jumlah itu, sebagian besar tetap dibebani urusan domestik. Artinya, meskipun perempuan bekerja, mereka tetap harus mengurus rumah, anak, dan pasangan, yang seolah menjadi “kewajiban alami”.
Masalahnya, hak perempuan tidak berkembang secepat peran yang dibebankan padanya. Masih banyak perempuan yang tidak punya hak penuh atas pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Banyak yang tidak punya akses ekonomi mandiri. Banyak pula yang tidak mendapatkan dukungan emosional meski telah berjuang sekuat tenaga di dua dunia: publik dan domestik.
Sementara itu, laki-laki justru lebih mudah mendapat pengakuan hanya karena memenuhi satu peran: sebagai pencari nafkah. Ketika seorang suami pulang kerja dan berkata, “Aku capek,” itu dimaklumi. Tapi ketika seorang istri berkata hal yang sama setelah bekerja dan mengurus rumah, sering kali dianggap sebagai bentuk keluhan atau kurang bersyukur.
Ironisnya, banyak narasi sosial yang masih menggambarkan perempuan ideal sebagai sosok yang “kuat, sabar, lembut, dan tidak banyak menuntut”. Ini memperkuat beban mental yang dialami perempuan. Bahwa mereka harus kuat, tapi tidak boleh menunjukkan lelah. Harus mampu segalanya, tapi tetap tidak boleh melebihi laki-laki.
Saya merasa perlu menyuarakan hal ini. Karena suara perempuan tidak boleh lagi dianggap pelengkap. Kita tidak sedang berkompetisi dengan laki-laki, kita hanya ingin hak kita tumbuh sebanding dengan peran yang kita jalankan. Sebagai generasi muda, kita punya tanggung jawab untuk mendobrak ketimpangan ini. Karena dunia yang adil bukan berarti membalikkan posisi laki-laki dan perempuan, tetapi menciptakan ruang yang setara bagi keduanya. Di mana laki-laki boleh lelah, dan perempuan juga boleh didengar.
Jadi, sejatinya perempuan itu tulang rusuk atau tulang punggung?
Mungkin kita tak perlu memilih.
Karena yang lebih penting dari posisi adalah penghargaan.
Dan penghargaan lahir dari pemahaman bahwa beban dan hak harus berjalan seimbang.
Najwa Putri Novyanti telah berkontribusi pada penulisan ini