Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga tinggi negara yang berperan penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan prinsip Trias Politica, yaitu pembagian kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Sebagai wakil rakyat, DPR memiliki fungsi utama dalam membentuk undang-undang, mengawasi jalannya pemerintahan, serta menetapkan APBN bersama pemerintah. Dengan demikian, DPR menjadi perantara antara rakyat dan negara guna memastikan kebijakan publik berjalan sesuai dengan kepentingan masyarakat.
#Bubarkan DPR!
Wacana pembubaran DPR mencuat pada Agustus 2025 setelah kebijakan kenaikan tunjangan hingga Rp90 juta per bulan dan viralnya video anggota dewan menari dalam rapat resmi, yang memicu kemarahan publik. Kritik ini berakar pada kinerja DPR yang dinilai buruk dan tidak transparan, seperti dalam pengesahan RUU TNI 2025 yang digelar tertutup di Hotel Fairmont Jakarta dan tidak tercantum dalam Prolegnas 2025–2029, namun tiba-tiba disahkan. Di saat yang sama, RUU Perampasan Aset yang lebih mendesak justru terabaikan, memperkuat persepsi negatif terhadap DPR.
Apakah mereka benar-benar merepresentasikan kepentingan dan aspirasi masyarakat?
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 29 Maret 2023, Mahfud M.D. meminta dukungan terhadap RUU Perampasan Aset kepada Bambang Wuryanto, Ketua Komisi III DPR RI. Bambang menanggapi dengan pernyataan, “mungkin RUU ini bisa, tapi harus bicara dengan ketua partai.” Pernyataan tersebut mencerminkan bahwa proses legislasi di DPR masih sangat dipengaruhi oleh keputusan elite partai politik, bukan sepenuhnya berdasarkan kepentingan publik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa DPR lebih merepresentasikan kepentingan partai ketimbang menjadi penyalur aspirasi rakyat.
Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa selama periode 2004–2024, terdapat 1.835 kasus tindak pidana korupsi, dengan 360 kasus melibatkan anggota DPR dan DPRD. Berdasarkan laporan Good Stats, lembaga legislatif bahkan menempati peringkat ketiga sebagai institusi paling banyak terlibat kasus korupsi, setelah pegawai swasta dan pejabat struktural. Fakta ini memperkuat kritik bahwa DPR masih menghadapi persoalan serius dalam integritas dan akuntabilitas lembaga.
Hal ini menunjukkan rendahnya integritas di kalangan pejabat publik yang telah memperoleh mandat kepercayaan dari masyarakat. Di tengah menurunnya kepercayaan publik, situasi kian memanas setelah muncul kabar mengenai kenaikan tunjangan anggota DPR di saat kondisi ekonomi nasional tengah melemah dan kebijakan efisiensi diberlakukan. Berdasarkan keterangan Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, rincian gaji dan tunjangan anggota dewan telah dikonfirmasi secara resmi sebagai berikut:
- Gaji pokok: Rp 4.200.000
- Tunjangan suami/istri sebesar 10 persen gaji pokok: Rp 420.000
- Tunjangan anak sebesar 2 persen gaji pokok, maksimal dua anak: Rp 168.000
- Tunjangan jabatan: Rp 9.700.000
- Tunjangan beras Rp 30.090 per jiwa, maksimal empat jiwa
- Tunjangan PPh Pasal 21: Rp 2.699.813
- Uang sidang/paket: Rp 2.000.000
- Tunjangan kehormatan: Rp 5.580.000
- Tunjangan komunikasi: Rp 15.554.000
- Tunjangan fungsi pengawasan dan anggaran: Rp 3.750.000
- Tunjangan perumahan: Rp 50.000.000.
Maka setiap anggota DPR bisa mengantongi penghasilan sekitar Rp 91,5 juta per bulan. Jumlah penghasilan anggota DPR semakin besar jika terlibat dalam banyak persidangan.
Apakah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pernah mengalami pembubaran secara resmi dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia?
Pembubaran DPR pernah terjadi pada era Presiden Soekarno setelah Pemilu 1955, ketika DPR menolak Rancangan APBN yang diajukan pemerintah. Ketegangan ini mendorong Soekarno membubarkan DPR pada Maret 1960 dan menggantinya dengan DPR-GR (Gotong Royong) untuk menyesuaikan arah politik pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sementara itu, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga pernah menggagas pembubaran parlemen akibat konflik politik dan kebijakan yang kontroversial. Meski tidak terlaksana, gagasan tersebut justru mempercepat proses pemakzulannya melalui TAP MPR No. II/MPR/2001.
DPR sering dianggap sebagai lembaga yang membebani keuangan negara, dengan anggaran besar untuk gaji, tunjangan, dan fasilitas mewah yang tidak sebanding dengan kualitas legislasi dan pengawasan. Banyak produk hukum dinilai lebih menguntungkan elite politik dan kelompok tertentu daripada masyarakat luas, sehingga menimbulkan kesan bahwa keberadaan DPR lebih merugikan publik.
Secara normatif DPR berfungsi sebagai wakil rakyat, namun dalam praktiknya banyak keputusan justru didorong oleh kepentingan partai dan sponsor politik. Akibatnya, jarak antara aspirasi masyarakat dan kebijakan yang dihasilkan semakin lebar, memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan tersebut.
Banyak anggota DPR terlibat dalam kasus korupsi, mulai dari suap hingga penyalahgunaan wewenang. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menempatkan DPR sebagai salah satu lembaga dengan tingkat korupsi tertinggi, menunjukkan bahwa lembaga ini kerap menjadi sumber masalah, bukan solusi.
Di sisi lain, kemajuan teknologi menghadirkan alternatif berupa e-democracy atau demokrasi partisipatoris, yang memungkinkan masyarakat terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan. Model ini dinilai lebih transparan, efisien, dan bebas dari biaya politik tinggi, tanpa harus bergantung pada sistem perwakilan tradisional seperti DPR.
Dosen Departemen Hukum Tata Negara UGM Faiz Rahman SH LLM mengatakan pembubaran DPR secara konstitusional hampir tidak mungkin. Ia menjelaskan, sebagai lembaga negara yang tertuang status dan kewenangannya pada UUD 1945, mekanisme pembubaran DPR yang dapat dilakukan adalah melalui perubahan atau amandemen konstitusi dengan menyebutkan secara eksplisit ketentuan tersebut. “Secara konstitusional, sebenarnya mustahil membubarkan DPR. Satu-satunya jalan adalah dengan terlebih dahulu melakukan amandemen Undang-Undang Dasar yang merupakan dasar konstitusional kelembagaan DPR dan memasukkan ketentuan terkait dengan pembubaran DPR”.
Apa dampak dan konsekuensi yang berpotensi mengganggu stabilitas negara serta merusak tatanan demokrasi?
- Krisis konstitusional dalam UUD 1945, dasar hukum DPR tertera sangat kuat. khususnya pada pasal 19 sampai pasal 22B yang menegaskan fungsi, kedudukan, dan mekanisme kerjanya. Jika DPR benar dibubarkan tanpa amandemen konstitusi, akan menyebabkan kekosongan hukum yang serius dan merusak prinsip negara hukum (rule of law).
- Konsentrasi kekuasaan pada presiden, tanpa DPR sebagai badan pengawas dan pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif menjadi mutlak tanpa kontrol dan keseimbangan yang memungkinkan potensi pemerintahan otoriter.
- Hilangnya representasi rakyat, sedari dulu pun telah hilang dan kini akan benar-benar hilang. Karena DPR adalah saluran untuk menyampaikan aspirasi melalui wakil yang dipilih. Tanpa adanya DPR, aspirasi akan sulit terangkat, dan beresiko demonstrasi yang semakin besar.
- Politisasi dan konflik horizontal, pembubaran ini akan memicu perubahan sikap masyarakat yang berujung disintegrasi dari identitas politik, agama atau etnis yang berpotensi menimbulkan konflik sosial yang luas.
Dampak dan konsekuensi tadi adalah sedikit dari dampak yang lebih besar, banyak kesempatan licik bisa terjadi bila DPR benar-benar dibubarkan. Dan keuntungan milik siapapun yang berkuasa. pakar hukum tata negara Mahfud MD menyatakan bahwa, lebih baik memiliki DPR yang tidak sempurna daripada tidak memiliki DPR sama sekali karena demokrasi membutuhkan DPR sebagai alat kontrol dan wakil rakyat.
Apa saja Alternatif Solusi Selain Pembubaran DPR?
Selama ini, reformasi legislasi sering dimaknai sempit sebagai upaya menyederhanakan jumlah undang-undang, misalnya melalui konsep omnibus law. Padahal, hakikatnya reformasi legislasi adalah pembaharuan sistem, proses, dan substansi hukum agar lebih efektif dan relevan. Pertanyaannya, sejauh mana penelitian serius dilakukan dalam penyusunan undang-undang, dan apa alternatif solusi selain pembubaran DPR untuk memperbaiki kualitas legislasi?
Pertama, perlu perubahan paradigma dalam penyusunan naskah akademik RUU. Selama ini, naskah akademik cenderung hanya membenarkan perlunya undang-undang tanpa kajian mendalam. Pemerintah dan DPR seharusnya melakukan penelitian pendahuluan untuk menilai urgensi pembentukan RUU sebelum tahap penyusunan.
Kedua, penguatan kelembagaan keahlian mutlak diperlukan. Badan Keahlian DPR yang berdiri sejak 2015 merupakan langkah positif menuju evidence-based policy, namun perlu dukungan SDM yang lebih kompeten. Prinsip serupa juga perlu diperkuat di BPHN sebagai mitra eksekutif dalam reformasi legislasi.
Ketiga, pemerintah perlu mendorong pengembangan keahlian perancangan undang-undang di perguruan tinggi, agar proses legislasi lebih lintas disiplin dan melibatkan berbagai bidang keilmuan, tidak hanya hukum.
Keempat, Prolegnas harus direformasi agar tidak sekadar menjadi “daftar keinginan” DPR dan pemerintah. Program ini perlu disusun berdasarkan rasionalitas dan kebutuhan publik yang terukur.
Empat langkah ini hanya dapat terwujud melalui kemauan politik yang kuat dari pimpinan DPR, Presiden, dan jajaran kabinet.
Keuntungan Jika DPR dibubarkan:
- Menghentikan praktik legislasi buruk, mencegah lahirnya undang-undang tanpa partisipasi publik seperti UU Cipta Kerja dan UU IKN.
- Menekan biaya politik, dengan mengalihkan anggaran DPR untuk kepentingan pembangunan.
- Menjadi langkah radikal memperbaiki sistem politik yang korup dan tidak produktif, mengingat citra DPR selama ini lekat dengan skandal dan legislasi yang tidak berpihak pada rakyat.
Kerugiannya Jika DPR dibubarkan:
- Kekosongan legislatif yang menyebabkan tanpa DPR, fungsi pengawasan hilang dan kekuasaan pemerintah berpotensi menjadi otoriter.
- Pembubaran DPR bertentangan dengan UUD 1945 dan dapat memicu krisis ketatanegaraan.
- Aspirasi publik tak lagi tersalurkan secara formal, menimbulkan risiko konflik sosial.
Apakah seruan “Bubarkan DPR” benar solusi terbaik, atau justru “Evaluasi total DPR” menjadi langkah yang lebih tepat untuk memperbaiki sistem yang ada?
Annazriel Sanjaya dkk telah berkontribusi pada penulisan ini