Dunia akademisi memiliki ekosistem intelektual yang berfokus pada pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan riset, berlangsung di universitas, institut, serta lembaga penelitian. Ranah ini mencakup pendidikan tinggi, penelitian, publikasi ilmiah, hingga pengabdian masyarakat. Akademisi berperan sebagai pengembang ilmu, pendidik generasi penerus, pengkritik sosial, serta pemberi masukan kebijakan publik.
Namun, muncul tantangan baru: universitas modern kerap bergeser menjadi “pabrik pengetahuan” yang sarat komersialisasi, birokrasi, dan tekanan mental. Survei di Inggris menunjukkan 90% akademisi tidak puas dengan manajemen kampusnya. Integritas akademik juga jadi sorotan, di mana kecurangan muncul saat kendali moral dilepaskan. Dengan demikian, dunia akademisi bukan sekadar ruang belajar, melainkan pusat transformasi pengetahuan, kritik sosial, dan pengabdian bagi kemanusiaan.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan institusi utama negara yang bertugas menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari ancaman dalam maupun luar negeri. TNI terdiri atas tiga matra: Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara yang bekerja terpadu dalam pertahanan nasional. Sejarah TNI berawal dari kekuatan bersenjata pasca Proklamasi 1945, lalu berkembang hingga reformasi yang menekankan profesionalisme militer. Kini, selain fungsi pertahanan, TNI juga berperan dalam penanggulangan bencana, pemberantasan terorisme, dan tugas kemanusiaan lain. Keberadaan TNI tidak hanya sebagai garda pertahanan, tetapi juga mitra strategis bangsa dalam menjaga stabilitas, mendukung pembangunan nasional, serta memperkuat demokrasi dan kehidupan sosial masyarakat.
Pada masa Orde Baru, militer masuk ke ranah akademik melalui kebijakan NKK/BKK pada 1970–1980-an dengan tujuan mengendalikan aktivitas politik mahasiswa. Saat itu, militer digunakan untuk membatasi kebebasan akademik dan nalar kritis. Memasuki era Reformasi, fenomena serupa kembali muncul lewat kerja sama dengan universitas serta materi bela negara dalam orientasi mahasiswa, yang menimbulkan kekhawatiran publik karena mengingatkan pada sejarah pembatasan akses pendidikan.
Fenomena terbaru terjadi di PKKMB UNMUL 2025 ketika Kapok Sahli Pangdam VI/Mulawarman, Deni Sukwara, hadir memberi materi tentang kebangsaan dan bela negara. Kehadirannya memicu respon mahasiswa FISIP yang menyanyikan lagu “Totalitas Perjuangan”, hingga terjadi ketegangan saat pihak militer meminta BEM FISIP turun dan bernyanyi bersama. Presiden BEM FISIP, Muhammad Jamil Nur, menilai tindakan itu tidak pantas dan menyebut militer seakan alergi terhadap lagu perjuangan.
BEM FISIP menolak keterlibatan militer di ruang akademik serta mengkritik materi yang ditampilkan karena dianggap tidak sesuai, apalagi disertai pemutaran video mahasiswa merusak fasilitas. Mereka menegaskan penolakan terhadap militer masuk kampus dan UU TNI.
Dari sini muncul pertanyaan: untuk apa militer masuk ke ranah akademik? Jika hanya untuk menyampaikan wawasan kebangsaan dan bela negara, hal itu bisa dilakukan oleh pakar kebangsaan atau orang yang memang bergelut di bidangnya. Penolakan mahasiswa dan sebagian masyarakat berangkat dari kekhawatiran bahwa keterlibatan militer di kampus tidak lain hanyalah bentuk pembungkaman.
Kehadiran TNI di kampus memang menuai pro dan kontra, namun ada sejumlah potensi positif yang bisa dimanfaatkan. TNI dapat memperkuat wawasan kebangsaan, menanamkan nilai disiplin, nasionalisme, serta pemahaman bela negara yang relevan dengan kehidupan demokrasi. Kolaborasi riset juga terbuka luas, khususnya di bidang pertahanan, teknologi informasi, dan ilmu terapan lain yang bermanfaat bagi pengembangan akademik. Keterlibatan ini dapat membangun sinergi antara sipil dan militer, mengurangi stereotip negatif, serta membuka ruang dialog yang lebih konstruktif.
Selama tetap menghormati kebebasan akademik dan ruang kritis mahasiswa, keterlibatan TNI justru bisa memperkuat karakter generasi muda sekaligus mendukung agenda bela negara dan keutuhan NKRI.
Masuknya TNI ke ruang akademik menimbulkan kekhawatiran serius karena peran utama mereka sejatinya adalah menjaga pertahanan negara, bukan mengajar atau melakukan riset akademik. Kehadiran TNI di kampus berisiko menghidupkan kembali pola militerisasi ala Orde Baru yang membatasi daya kritis mahasiswa. Hal ini juga berpotensi melanggar regulasi karena undang-undang tidak mengatur tugas TNI untuk mengajar di perguruan tinggi, sementara kebebasan akademik dijamin oleh UU Pendidikan Tinggi. Kehadiran mereka bisa membuka peluang indoktrinasi, membatasi ekspresi politik, serta menimbulkan pengawasan yang mengikis iklim akademik.
Selain itu, independensi kampus dapat melemah karena tradisi ilmiah yang seharusnya bebas dari tekanan militer menjadi terancam. Tidak sedikit pula yang khawatir adanya potensi intimidasi terhadap mahasiswa, khususnya aktivis, sehingga memunculkan rasa takut dan mengurangi keberanian untuk menyampaikan kritik. Semua risiko ini menunjukkan bahwa keterlibatan TNI di dunia akademisi perlu dipertimbangkan dengan hati-hati agar tidak mengorbankan otonomi akademik yang menjadi roh perguruan tinggi.
Kolaborasi yang sehat antara TNI dan akademisi dapat diwujudkan melalui kerja sama yang relevan dengan kebutuhan riset dan pembinaan karakter tanpa mengganggu kebebasan akademik. Contoh yang sudah berjalan adalah kerja sama Universitas Gadjah Mada dengan Dislitbang TNI AD dalam pengembangan inovasi alat deteksi militer. Bentuk kolaborasi ini berfokus pada penelitian aplikatif di bidang pertahanan sekaligus memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk terlibat melalui magang dan riset bersama.
Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan TNI dapat mendukung penguatan inovasi teknologi yang bermanfaat luas. Universitas Udayana juga menjalin kerja sama dengan Kodam IX/Udayana dalam pendidikan wawasan kebangsaan dan bela negara. Program ini bersifat edukatif dan sukarela, tetap dalam pengawasan akademik, serta menekankan pembinaan nilai kebangsaan mahasiswa tanpa intervensi terhadap kurikulum kritis. Dari pengalaman tersebut dapat disimpulkan bahwa pola kolaborasi yang sehat sebaiknya diarahkan pada riset, teknologi, dan pembinaan karakter, dengan menjunjung prinsip keterbukaan, sukarela, serta penghormatan terhadap otonomi perguruan tinggi.
Dunia akademisi berfokus pada pendidikan, riset, dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan peran utama dosen, peneliti, dan mahasiswa. Sementara itu, TNI berorientasi pada pertahanan dan keamanan negara yang diatur konstitusi dan bersifat sakral.
Masuknya TNI ke ranah akademik menimbulkan pro dan kontra. Sejarah NKK/BKK pada Orde Baru menunjukkan risiko pembatasan kebebasan mahasiswa dan potensi militerisasi. Namun, kehadiran TNI juga bisa memberi manfaat, seperti penguatan wawasan kebangsaan, bela negara, serta pengembangan riset dan teknologi, selama tetap menghormati otonomi kampus dan dilakukan secara sukarela serta transparan.
Risiko negatif seperti intimidasi, pelanggaran regulasi, ancaman kebebasan akademik, hingga pengawasan mahasiswa tetap perlu diwaspadai. Karena itu, aturan yang jelas dan pengawasan ketat sangat penting. Contoh positif sudah ada, seperti kerjasama UGM dengan Dislitbang TNI AD dalam riset inovasi militer, serta Universitas Udayana dengan Kodam IX/Udayana dalam pembinaan wawasan kebangsaan secara edukatif dan sukarela.
Keterlibatan TNI di dunia akademik memiliki dua sisi: potensi positif dan risiko negatif. Agar kolaborasi memberi manfaat, intervensi harus difokuskan pada bidang riset, inovasi, teknologi, dan pembinaan karakter, bukan kurikulum atau kebijakan kampus. Keterlibatan juga harus sukarela, transparan, serta menghormati otonomi perguruan tinggi. Selain itu, pengawasan dan regulasi yang ketat wajib diterapkan untuk mencegah militerisasi, pelanggaran hukum, maupun ancaman kebebasan akademik.
Dengan prinsip-prinsip tersebut, kolaborasi sehat antara TNI dan akademisi dapat terwujud, mendukung pembangunan bangsa, sekaligus menjaga keseimbangan antara keamanan negara dan kebebasan akademik.
Fahri Mu’azamil dkk telah berkontribusi pada penulisan ini